Nama Mandailing sudah diketahui sejak abad
ke-14 lagi, dan ini menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama
Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Nama Mandailing tersebut dalam kitab
Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Batak
tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
Bangsa Mandailing berasal dari pedalaman
pantai barat Sumatera dan Tapanuli Selatan di utara Sumatera, Indonesia.
Meskipun Mandailing sering dikaitkan dengan
Batak, namun rata-rata orang Mandailing menolak tanggapan ini. Hal ini disebabkan
istilah Batak merupakan ciptaan Belanda di zaman penjajahan. Sehingga Raja-Raja
di Mandailing pernah menggugat pemerintah kolonial Belanda pada era 1920-an dan
gugatan tersebut dimenangkan oleh Raja-raja di Mandailing, bahawa Mandailing
bukan sub dari Batak dan bukan berasal dari Batak.
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui
dengan pasti asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan
oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman
Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan
Jakun. Tapi orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak.
Kemudian panggilan ini dipetik oleh
pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan diambil oleh Portugis dan
orang-orang dari atas angin dan bawah angin, hinggalah ke ini hari.
Pengunaan istilah ‘Batak’ sebagai label
yang umum untuk kelompok-kelompok ini (Toba, Mandailing dan Simalungun)
sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi mempunyai sejarah yang berpetak-petak.
Ahli-ahli bahasa dan etnologi senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan
istilah yang diperlukan dikerana adanya elemen umum yang kuat di dalam
tiap-tiap kelompok ini.
Pada tempoh tertentu, mereka yang kemudian
memeluk Islam, terutama orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan
sama sekali – hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara
keseluruhan.
Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di
antara orang Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatera dan Semenanjung
Malaysia.
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang
Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai
“foreign Malays” (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak
Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
Penjajah Inggeris memakai istilah “foreign
Malays” untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan
administratif (administrative convinience). Pada mulanya, kategori Mandailing
dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori
tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak mahupun orang Mandailing pilih
‘masuk Melayu’ atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
Meskipun berabad-abad orang-orang Batak
sudah ‘masuk Melayu’, pemisahan Batak-Melayu terus kekal. Hinggakan proses
memelayukan orang-orang Batak termasuk bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan
sebagai sub-Batak itu, berkelanjutan hingga masa kini.
Apakah muslihat dan strategi penjajah dan
sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa
lain di Sumatra Utara supaya bertuankan Batak?
Apakah muslihat dan strategi penjajah dan
sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa
Nusantara yang kedapatan di Semenanjung supaya bertuankan Melayu?
Bermula dengan rekayasa sosial kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayanisasi (kemudian
Malaysianisasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke-19 sampai
sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional dan
nasionalisme Melayu dan Indonesia.
Ciri-ciri khusus kebangsaan bangsa/umat
Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian terhapus sama sekali
atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan nasional, identiti nasional
dan kesatuan nasional.
Pada tahun 1920-an, alim ulama dan
pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percubaan orang-orang Batak-Islam
termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah
perkuburan Sungai Mati.
Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing
berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk
jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola
termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak patut dikuburkan di perkuburan
itu.
Pejuang-pejuang kebangsaan bangsa
Mandailing membawa kes ke mahkamah syariah Sultan Deli dengan keterangan bahawa
tanah perkuburan bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata
untuk bangsa Mandailing. Mereka yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh
dikuburkan di situ.
Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi
bahawa bangsa Mandailing terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak.
Kemudian bangsa Batak membawa kes tersebut di mahkamah sivil di Batavia, Jawa.
Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan bahawa
bangsa Mandailing bukan Batak.
Referensi:-
https://www.mandailingonline.com/bangsa-mandailing.../...
https://www.mandailingonline.com/bangsa-mandailing.../...
No comments:
Post a Comment