Wednesday 7 February 2024

ASAL USUL BANGSA MANDAILING

 
Nama Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14 lagi, dan ini menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
 
Nama Mandailing tersebut dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Batak tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
 
Bangsa Mandailing berasal dari pedalaman pantai barat Sumatera dan Tapanuli Selatan di utara Sumatera, Indonesia.
 
Meskipun Mandailing sering dikaitkan dengan Batak, namun rata-rata orang Mandailing menolak tanggapan ini. Hal ini disebabkan istilah Batak merupakan ciptaan Belanda di zaman penjajahan. Sehingga Raja-Raja di Mandailing pernah menggugat pemerintah kolonial Belanda pada era 1920-an dan gugatan tersebut dimenangkan oleh Raja-raja di Mandailing, bahawa Mandailing bukan sub dari Batak dan bukan berasal dari Batak.
 
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun. Tapi orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak.
 
Kemudian panggilan ini dipetik oleh pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan diambil oleh Portugis dan orang-orang dari atas angin dan bawah angin, hinggalah ke ini hari.
 
Pengunaan istilah ‘Batak’ sebagai label yang umum untuk kelompok-kelompok ini (Toba, Mandailing dan Simalungun) sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi mempunyai sejarah yang berpetak-petak. Ahli-ahli bahasa dan etnologi senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan istilah yang diperlukan dikerana adanya elemen umum yang kuat di dalam tiap-tiap kelompok ini.
 
Pada tempoh tertentu, mereka yang kemudian memeluk Islam, terutama orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan sama sekali – hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara keseluruhan.
 
Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di antara orang Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia.
 
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai “foreign Malays” (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
 
Penjajah Inggeris memakai istilah “foreign Malays” untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience). Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak mahupun orang Mandailing pilih ‘masuk Melayu’ atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
 
Meskipun berabad-abad orang-orang Batak sudah ‘masuk Melayu’, pemisahan Batak-Melayu terus kekal. Hinggakan proses memelayukan orang-orang Batak termasuk bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan sebagai sub-Batak itu, berkelanjutan hingga masa kini.
 
Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa lain di Sumatra Utara supaya bertuankan Batak?
 
Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa Nusantara yang kedapatan di Semenanjung supaya bertuankan Melayu?
 
Bermula dengan rekayasa sosial kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayanisasi (kemudian Malaysianisasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke-19 sampai sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional dan nasionalisme Melayu dan Indonesia.
 
Ciri-ciri khusus kebangsaan bangsa/umat Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian terhapus sama sekali atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan nasional, identiti nasional dan kesatuan nasional.
 
Pada tahun 1920-an, alim ulama dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percubaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati.
 
Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak patut dikuburkan di perkuburan itu.
 
Pejuang-pejuang kebangsaan bangsa Mandailing membawa kes ke mahkamah syariah Sultan Deli dengan keterangan bahawa tanah perkuburan bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata untuk bangsa Mandailing. Mereka yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh dikuburkan di situ.
 
Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi bahawa bangsa Mandailing terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak. Kemudian bangsa Batak membawa kes tersebut di mahkamah sivil di Batavia, Jawa. Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan bahawa bangsa Mandailing bukan Batak.
 
Referensi:-
https://www.mandailingonline.com/bangsa-mandailing.../...

No comments:

Post a Comment